Los Felidas adalah nama sebuah
jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di
kawasan terkumuh di seluruh kota. Ada sebuah kisah Natal yang
menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah
seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak
seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit
masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan
dibawa oleh bekas suaminya dari kampung halamannya.
Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota
terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka
kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa
mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun
uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang
berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari
satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi
dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat
untuk berteduh.
Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang
dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami
berkata: Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan
pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.?
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak
seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang
seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu
kedatangan suaminya, dan bila malam tidur diemperan toko itu. Pada hari
ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai
memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis disana selama 6
bulan berikutnya.
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.
Masalahnya adalah dimana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah
hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan
lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak
memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak
gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang
mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.
Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun
selama ibunya tidak ditempat. Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan
cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi
tidur dengan angin dirambut kita.? Gadis itu mematuhi pesan ibunya
dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana
mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan
anaknya dengan hati-hati, didalamnya, disebelahnya ia meletakkan
sepotong roti, kemudian, dengan mata basah ibu menuju ke pabrik sepatu,
dimana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga dikantong sang
ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu
didaerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju kepenginapan orang-orang
miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga
sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis
cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer kepusat
kota. Disitu mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru,
membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya kesebuah rumah
mewah di pusat kota. Disitu gadis cilik itu dijual.
Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak
pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18
tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka
memanjakannya dengan amat sangat. Ditengah-tengah kemewahan istana
itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan
orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain
piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan
mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.
Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar
tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal
sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain
piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar
dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi
cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih,yang bernama
Geraldo.
Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta
suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar
14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di
kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi
yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang
membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai
lagi, dan dilaci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang
anak bayi yang digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu
sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak
tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat
jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan
mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia
membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni.
Didalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh
barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat
pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu sesuatu terbungkus kapas
kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan
bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan
untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu
anting-anting, dimana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia
punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto. Sekali lagi ia
mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya
berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah
dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang
tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.
Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini
mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa jenis wajahnya
dan wajah kedua orang tuanya berbeda, kenapa ia tidak menuruni golongan
darah ayahnya. Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad
terpendam, berkilat dibenaknya, bayangan seorang wanita membelai
kepalanya dan mendekapnya didada. Diruangan itu mendadak Serrafona
merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa
hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita
itu.
Ia seolah merasakan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah
lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari
kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: Geraldo,
saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin ibu saya masih ada
dijalan sekarang setelah 25 tahun.?
Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna.
Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan
disebar keseluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak
satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu,
Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor
surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan
untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan
badan-badan sosial diseluruh negeri dan mencari data tentang seorang
wanita. Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari
usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu
dinegeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi
Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang
begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencaharian
mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah
kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia
berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu
menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang
menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu
berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian. Saat itu
waktu sudah memasuki masa Natal. Seluruh negeri bersiap untuk
menyambut hari kelahiran Kristus, dan bahkan untuk kasus Serrafona-pun
orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang
mulai menyala disana-sini, mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan
ditempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.
Pagi siang dan sore ia mengambil rosarionya dan berdoa: Tuhan, saya
bukannya tidak berniat merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk
satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu
saya.?
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada
seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya.
Tanpa membuang waktu, mereka terbang ketempat itu, sebuah rumah kumuh
di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka
tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat,
adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu
mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi
jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi
diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia
mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi
anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu
juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.
Mereka tinggal disebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka
untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur.
Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa
ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak
tahu jawabannya. Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul
18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka.
"Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin
telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin
tidak banyak lagi."
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang
kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah disepanjang jalan itu tua-tua dan
kusam. Satu dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari
jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil,
kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi.
Semakin lama mereka masuk ke dalam, tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah
bisa mendengar panggilan itu. Lekas, Serrafonna, mama menunggumu,
sayang.
Ia mulai berdoa: Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa
membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: Tuhan beri saya sebulan
saja.
Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita
bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia
mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: Tuhan, kalau
sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling
memanjakan.
Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat
sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi
ke sisi, dari ujung keujung. Ditengah-tengah jalan itu, didepan
puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong
plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan
pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.Mobil mereka berhenti
diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Dibelakang mereka
sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari
kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
"Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih
kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar,
memburu ibu mertuanya.
"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu."
Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan
kepalanya kesitu. Ia memandang lantai dikakinya dan ingat ketika ia
belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi
mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika
ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ketangan wanita yang terbaring
itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, beri kami sehari, Tuhan,
biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberinya tahu bahwa
selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak
menyia-nyiakan saya. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke
dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang
keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente,
kearah mobil-mobil yang mengkilat dan kearah wajah penuh air mata yang
tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.
"Mama...." ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang
ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara
sadar dan tidak? kini menjadi kenyataan.
Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang
akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk
anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa
perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan
kepalanya didada mamanya.
"Mama. Saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan
pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama
ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan.
Mama jangan pergi dulu... Mama..."
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi
kepada Tuhan: Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan..... satu jam
saja..... satu jam saja.....
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang
yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya
selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa Commentnya...